kotabontang.net - Senjakala Hulu Migas di Indonesia, Menanti Jawara dari Negeri Sendiri '
Oleh : Putro Agus Harnowo - Kompasiana
Masa keemasan minyak bumi di Indonesia telah lewat. Jika diibaratkan seorang pesepakbola, umurnya sudah mencapai kepala 30, sudah bersiap-siap untuk gantung sepatu. Hanya saja, jika bulir-bulir keringat dapat membuat sang pesepakbola bertambah pengalaman dan dapat menjadikannya layak menjadi seorang pelatih, maka minyak bumi tidak. Sekali dia habis, habislah sudah. Pemain baru harus segera ditemukan untuk menggantikan posisinya.
Sekira dua tahun lalu, tepatnya di tahun 2012, hasil survei yang dirilis ProcewaterhouseCoopers (PwC) membuat pemerintah mengernyitkan dahi. Para investor di sektor migas berniat menurunkan belanja investasinya hingga lima tahun ke depan. Yang mengkhawatirkan, sejumlah pelaku usaha bahkan mengaku tidak akan membelanjakan uangnya di Indonesia.
Kenyataan ini jelas berbanding terbalik dengan kondisi tahun 2008. Meskipun tahun itu Indonesia secara resmi hengkang dari OPEC (Organization of the Petroleum Exporting Countries) yang artinya bukan lagi menjadi negara pengekspor minyak mentah, namun 90 persen pelaku usaha di sektor minyak masih yakin akan menaikkan belanja modalnya secara signifikan. Survei tahun 2012 yang dilakukan terhadap 36 perusahaan migas yang beroperasi di Indonesia ini mengindikasikan suramnya masa depan investasi migas di tanah air.
Namun secercah harapan akan terus ada. Para responden survei percaya bahwa permintaan minyak dan gas akan terus tumbuh, baik secara global maupun nasional. Mereka berpendapat bahwa masih ada cadangan minyak dan gas yang signifikan untuk ditemukan di Indonesia, khususnya di Indonesia Timur. Artinya, potensi investasi sebenarnya masih cukup menjanjikan. Survei ini dilakukan saat suplai minyak belum membanjiri pasar. Bayangan bahwa harga minyak akan terjun bebas hingga di bawah US$ 50 per barel agaknya belum terlintas saat itu.
Kilas Balik Sejarah Keemasan Minyak Bumi di Indonesia
Baca Juga : Sejarah PT.Badak NGL Bontang
Seperti yang telah disinggung di awal, Indonesia sempat merasakan manisnya mahligai kejayaan migas. Tahun 1970 – 1990 sering disebut sebagai era bonanza minyak, di mana sektor migas menjadi kontributor utama pemasukan negara hingga mencapai 70 persen. Kini setorannya menyusut drastis hingga tinggal 20 persen saja. Fungsinya kemudian berubah menjadi sekedar “penopang pertumbuhan ekonomi nasional”.
Sejak masa pendudukan Hinda Belanda, minyak bumi sudah dilirik sebagai investasi yang menggiurkan. Sayangnya gejolak politik membuat pelaku usaha gamang mencoba peruntungan. Barulah saat situasi politik cukup stabil, upaya eksplorasi gencar dilakukan. Hasilnya, sejak tahun 1967 hingga 1977, sedikitnya telah dilakukan pengeboran 568 sumur dan ditemukan cadangan minyak sekitar 213 juta barel ditambah cadangan gas bumi sebanyak 766 miliar kaki kubik. Temuan ini tersebar di Indonesia bagian barat, mulai dari pantai utara dan timur Balikpapan, lepas pantai sisi tenggara Pulau Sumatera, dan Laut Jawa.
Kekayaan migas ini kemudian membuat Indonesia mendapat hak untuk bergabung dalam kelompok arisan negara pengekspor minyak bumi atau OPEC sejak tahun 1961. Selama 30 tahun, yaitu dari tahun 1970 sampai tahun 2000, Indonesia mengalami produksi minyak tinggi. Bahkan pada tahun 1972-1983, Indonesia menikmati masa “Oil Boom” akibat lonjakan harga minyak dunia. Harga minyak mentah dunia naik dua kali lipat dari US$ 14 pada 1978 menjadi US$ 35 per barel pada 1981 akibat Revolusi Iran dan Perang Iran-Irak.
Lonjakan harga tersebut menandai berakhirnya masa minyak murah dan membuat Indonesia ketiban rezeki berlimpah. Jika pada tahun 1969-1974 sektor migas hanya berkontribusi sebesar Rp 773,8 miliar atau sekitar 21,6 persen dari total pendapatan negara, maka di tahun 1974-1979 angkanya melonjak drastis. Kontribusi migas menyumbang kekayaan negara hingga Rp 7,9 triliun atau naik 926,9 persen dari periode sebelumnya. Peningkatan ini terus terjadi pada periode-periode berikutnya, seiring kenaikan harga minyak mentah dunia.
Pada periode 1989-1994, penerimaan sektor migas sebenarnya masih mengalami peningkatan menjadi Rp 74 triliun. Hanya saja, kontribusinya terhadap penerimaan negara tinggal 34 persen. Pencapaian ini jauh lebih kecil jika dibandingkan sektor non migas yang mencapai Rp 147,2 triliun. Periode ini sekaligus menandai usainya dominasi emas hitam terhadap pemasukan negara, sekaligus berakhirnya era bonanza minyak bumi di Indonesia.
Mandegnya eksplorasi membuat dominasi minyak bumi semakin merosot Melewati tahun 2000, industri hulu minyak bumi menghadapi masa suram. Bahkan sejak tahun 2005, Indonesia berubah dari eksportir menjadi negara pengimpor minyak dari negara lain seperti Arab Saudi, Nigeria, Azerbaijan, Brunei, Rusia, hingga Malaysia. Selang tiga tahun kemudian, Indonesia pun keluar dari OPEC.
Kini cadangan minyak bumi yang tersisa tinggal 4 miliar barel, sedangkan sumur-sumur produksi kian uzur dan tak lagi produktif. Investor mulai beralih ke gas bumi yang sumbernya masih cukup berlimpah. Oleh sebab itu, investasi di bidang eksplorasi guna menemukan ladang-ladang baru harus mulai gencar dilakukan. Pencarian bergerak dari kawasan barat menuju timur Indonesia.
Perubahan Kontrak-Kontrak Migas yang Membingungkan
Sejarah migas di tanah air tak lepas dari perubahan rezim yang berkuasa, termasuk rezim penguasa sebelum Indonesia merdeka. Pada masa Hindia Belanda, pengelolaan industri hulu migas sangat dipengaruhi oleh ideologi imperialis. Sistem yang diberlakukan adalah sistem konsesi, yaitu minyak dan gas yang ditemukan pada sebidang tanah menjadi hak milik sang pemilik tanah. Negara hanya mendapat royalti atas presentase produksi yang dihasilkan.
Dengan kontrak konsesi, kekayaan migas di Indonesia menjadi milik 18 perusahaan asing asal Belanda, Inggris, dan Amerika Serikat. Negara sama sekali tidak memiliki kedaulatan atas kekayaan alam, termasuk kekuasaan untuk mengatur manajemen operasi kegiatan. Namun ketidakberdayaan ini usai saat Presiden Soekarno mengambil langkah penting menasionalisasi asset-aset migas. Sesuai amanat UUD 1945, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
Melalui Undang-undang Nomor 44 tahun 1960, pengelolaan migas ditata kembali. Intinya, usaha migas hanya boleh diselenggarakan oleh negara, dan kontrak konsesi diubah menjadi kontrak karya. Kontrak karya menyebutkan Indonesia akan mendapatkan 60 persen keuntungan dari produksi minyak. Sedangkan posisi operator tetap dipegang oleh perusahaan asing kala itu, yaitu Stanvac, Shell, dan Caltex. Perusahaan asing yang telah mengelola migas di Indonesia dipaksa berunding kembali untuk memperbarui kontrak.
Mereka hanya boleh menjadi penggarap dan harus menandatangani kontrak karya dengan salah satu perusahaan negara kala itu, yaitu Permina, Pertamin, atau Permigan. Ketiga perusahaan negara tersebut merupakan perusahaan hasil nasionalisasi dan dibentuk melalui amanat Undang-undang yang sama. PN Pertamin (Perusahaan Tambang Minyak) sebelumnya bernama Permindo (Perusahaan Minyak Indonesia)yang awalnya merupakan patungan antara Shell dan pemerintah Hindia Belanda. Permigan (Perusahaan Minyak dan Gas Nasional) berasal dari PT Minyak Rakyat Indonesia (MRI) yang dikelola secara mandiri oleh para mantan pekerja perusahaan sebelum kemerdekaan. Sedangkan PN Permina merupakan perubahan dari PT Permina.Agar ketiganya dapat bekerjasama dengan baik, dibentuk Badan Pimpinan Umum yang dijabat oleh mantan Presiden Direktur PT Permina, Ibnu Sutowo.
Stanvac kemudian bekerjasama dengan Permina, Shell dengan Permigan, dan Caltex dengan Pertamin. Namun kontrak ini tidak berumur panjang. Stanvac dan Shell menghentikan operasi dan menjual semua aset kepada perusahaan negara akibat gonjang-ganjing mengganyang Malaysia di tahun 1964.Hanya Caltex yang bertahan.
Keberhasilan mengubah kontrak konsesi menjadi kontrak karya belum membuat Ibnu Sutowo puas. Pada tahun 1966, Sutowo memperkenalkan sistem kontrak bagi hasil atau Production Sharing Contract (PSC). Skema ini pertama kali berlaku saat Permina menandatangani kontrak bagi hasil dengan Independence Indonesian American Oil Company (IIAPCO), sekaligus tercatat sebagai PSC pertama dalam sejarah industri migas dunia. Penerapan PSC dilatarbelakangi oleh keinginan agar negara berperan lebih besar dengan mempunyai kewenangan manajemen kegiatan usaha hulu migas.
Analogi PSC sering diibaratkan dengan model usaha petani penggarap sawah yang banyak dipraktikkan di nusantara. Pemerintah berperan sebagai pemilik sawah yang memberikan hak pengelolaan lahan kepada petani penggarap. Dalam bisnis hulu migas, petani penggarap adalah perusahaan migas, baik nasional maupun asing. Penggarap menyediakan semua modal dan alat yang nantinya akan diganti oleh pemilik sawah. Namun semua biaya yang dikeluarkan petani penggarap harus disetujui pemilik sawah terlebih dahulu. Penggantian ini dalam dunia migas dikenal dengan istilah cost recovery.
Cost recovery hanya bisa dilakukan jika sawah berhasil panen atau dengan kata lain, ditemukan cadangan yang komersial untuk dikembangkan. Jika gagal, semua biaya ditanggung sepenuhnya oleh kontraktor. Dalam kontrak ini, kendali manajemen dipegang oleh negara. Kontraktor hanya berhak atas manfaat ekonomi dari pengusahaan migas. Sementara hak atau kuasa pertambangan dan hak atas minyak dan gas bumi tetap menjadi milik negara. Selain itu, kontraktor wajib mempekerjakan tenaga kerja Indonesia serta mendidik atau melatihnya. Kontraktor juga wajib memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri maksimum 25% dari hasil produksi mereka.
Sistem kontrak bagi hasil dinilai amat menguntungkan negara. Dengan pola ini, negara bisa memanfaatkan sumber daya migas dengan mudah karena modal dan teknologi sudah disediakan oleh investor. Negara juga tidak menanggung risiko kegagalan eksplorasi karena tidak diganti dalam skema cost recovery. Bagi sebagian besar perusahaan migas asing, kontrak ini awalnya dinilai tidak masuk akal. Namun setelah ada perusahaan yang mendapat sukses dengan pola tersebut, perusahaan-perusahaan asing lainnya pun menyusul.
Agaknya keuntungan yang dihasilkan dari emas hitam di Indonesia masih menggiurkan bagi investor, melebihi risiko kegagalan eksplorasi. Pada akhir tahun 1971, sebanyak 31 perusahaan minyak telah menandatangani 41 kontrak bagi hasil dengan Pertamina untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi migas di seluruh nusantara. Yang membanggakan, konsep bagi hasil ini kini banyak dipakai di berbagai negara di Asia dan Afrika.
Kewenangan Ganda yang Membawa Petaka dan Lahirnya SKK Migas
Penguasa berganti, namun peran migas bagi negara masih dinilai strategis. Di masa awal Orde Baru berkuasa,tepatnya pada 20 Agustus 1968, Permina dan Pertamin digabungkan menjadi Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (Pertamina). Ibnu Sutowo ditunjuk menjadi direktur utama Pertaminakarena dinilai sukses memimpin Permina.
Saat itu kewenangan Pertamina amat besar. Tak hanya berperan sebagai regulator, Pertamina juga bertindak sebagai operator pengelolaan ladang-ladang migas. Apalagi dengan disahkannya UU Migas no. 8 tahun 1971, Pertamina menjadi satu-satunya perusahaan negara yang mengatur dan mengelola industri migas dari hulu hingga hilir. Periode tahun1970-an juga merupakan masa kemasan Pertamina akibat lonjakan harga minyak mentah dunia. Pertamina digadang menjadi sumber utama pengisi pundi-pundi uang negara.
Ironisnya, di tengah kejayaan minyak dunia tersebut, Pertamina justru nyaris bangkrut terlilit hutang sebesar US$ 10,5 miliar. Sebanyak US$ 1,5 miliar di antaranya merupakan utang jangka pendek. Dengan kurs US$1 saat itu adalah Rp 400, jumlah ini terhitung luar biasa besar untuk negara berkembang seperti Indonesia. Krisis ini membuat perekonomian Indonesia di ambang kehancuran. Ibnu Sutowo lantas dicopot dari jabatannya sebagai Dirut dan Presiden Soeharto membentuk tim penyelamat Pertamina.
Saking paniknya, polemik seputar sepak terjang Ibnu Sutowo ini ramai diberitakan media kala itu. Presiden Soeharto bahkan sampai menuliskan satu bab tersendiri mengenai bencana di Pertamina dalam buku otobiografinya, “Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis Ramadhan KH dan G Dwipayana. Besarnya utang Pertamina disebabkan unit bisnis Pertamina di luar minyak yang malah menjerat perusahaan. Apalagi Ibnu Sutowo tak pernah membicarakan sebagian besar kegiatannya dengan pemerintah.
Menteri Pertambangan dan Minyak Bumi tahun 1873-1974, M. Sadli, dalam wawancara dengan Tempointeraktif pada tanggal 28 September 1996 mengatakan, kedekatan Dirut Pertamina dengan Presiden membuat perusahaan sulit dikontrol. Kenyataannya, Ibnu Sutowo tak pernah dinyatakan merugikan keuangan negara atau melanggar hukum pidana. Kasusnya hanya dinyatakan sebagai ’salah manajemen’ atau salah urus.
Kritik lain yang dialamatkan kepada Pertamina adalah kecenderungannya untuk menyerahkan wilayah kerjanya kepada perusahaan asing atau dikenal dengan pola Technical Assistant Contract (TAC) ketimbang mengelola sendiri. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tahun 2012 menunjukkan bahwa 74 persen blok migas yang sudah berproduksi digarap oleh asing.
Perusahaan asing ini umumnya memperoleh kontrak pada era UU No.8 tahun 1971 yang memberikan kewenangan ganda kepada Pertamina. Kewenangan sebagai regulator diyakini membuat Pertamina menjadi malas mencari sumber minyak baru dan memilih menyerahkan penggarapan wilayah kerja kepada mitra asing. Hingga tahun 2001, terdapat penandatanganan kontrak di 117 wilayah kerja. Sebanyak 101 di antaranya dilakukan dengan perusahaan multinasional.
Kebangkrutan Pertamina di tengah tingginya harga minyak dunia dan ditemukan banyak sumur baru jelas menjadi tanda tanya. Namun tenggelamnya kasus Ibnu Sutowo juga tak luput dari rasa penasaran publik. Dalam hasil studi tentang Pertamina yang disponssori James A. Baker III Institute for Public Policy dan Japan Petroleum Energy Center, Rice University, disebutkan bahwa setelah tahun 1980, anak-anak Presiden Soeharto dan kroninya terlibat aktif dalam berbagai bisnis Pertamina.
Indikasi penyimpangan ini juga ditemukan dalam hasil audit lembaga auditor internasional PricewaterhouseCoopers (PwC) tahun 1999. Laporan ini menyebutkan bahwa Pertamina kehilangan miliaran dolar AS dari tahun 1996 sampai 1998 akibat inefisiensi dan korupsi. Disebutkan bahwa pejabat-pejabat Pertamina mendapat US$ 128 juta dari kontrak-kontrak yang dilakukan dengan keluarga Cendana sepanjang 1996—1998. Kerugian paling banyak diperoleh dari proses impor ekspor minyak mentah yang dilakukan perusahaan kroni Soeharto.
Bahkan Jakarta Post terbitan 12 Oktober 1999 menulis, inefisiensi Pertamina terjadi salah satunya akibat kontrak-kontrak tak wajar yang dibuat Pertamina dengan perusahaan yang terafiliasi dengan keluarga Cendana dan kroninya. Laporan tersebut menyulut kegeraman publik dan desakan untuk melakukan reformasi di tubuh Pertamina. Maka tak lama setelah pemerintahan Soeharto lengser, muncul desakan kuat agar sistem pengelolaan Pertamina diperbaiki.
Undang-undang Migas nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi lahir dari keprihatinan tersebut. Salah satu poin penting di dalamnya adalah memangkas kewenangan ganda Pertamina, yaitusebagai regulator sekaligus operator. Untuk pengaturan dan pengawasan di sektor hulu, peran Pertamina diganti oleh lembaga bentukan pemerintah bernama Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas). Sedangkan untuk sektor hilir, dibentuk Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas).
BP Migas mempunyai tugas melakukan pengawasan dan pengendalian Kegiatan Usaha Hulu di bidang minyak dan gas bumi, memberikan pertimbangan kepada menteri dalam penyiapan dan penawaran Wilayah Kerja serta Kontrak Kerja Sama. BP Migas juga bertanggungjawab dalam melaksanakan penandatanganan Kontrak Kerja Sama, mengkaji dan menyampaikan rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksi dalam suatu Wilayah Kerja kepada Menteri untuk mendapat persetujuan, memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran, hingga menunjuk penjual migas milik negara.
Namun sebelas tahun kemudian, tepatnya tanggal 13 November 2012, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian gugatan pembatalan pasal-pasal dalam UU Migas. Salah satu pasal yang dibatalkan merupakan payung hukum keberadaan BP Migas. Alasannya, keberadaan lembaga ini bertentangan dengan UUD 1945 sehingga dinilai inkonstitusional. Keberadaannya dinilai sangat berpotensi menimbulkan inefisiensi dan diduga membuka peluang bagi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Dengan kata lain, BP Migas dibubarkan dan untuk sementara wewenangnya diserahkan kepada Kementerian ESDM.
Keputusan ini jelas membuat investor cemas dengan kepastian hukum di Indonesia. Sebab BP Migas telah menandatangani 353 kontrak dengan potensi kerugian sekitar US$ 70 miliar. Sehari setelah keputusan MK diketok palu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun segera mengambil langkah, berjanji menerbitkan peraturan presidenuntuk memberikan kepastian hukum dan arah kebijakan yang jelas di sektor migas.
Setahun kemudian, pada tanggal 13 januari 2013, keluarlah Peraturan Presiden nomor 9 tahun 2013 yang menjadi landasan pembentukan lembaga baru. Jika fungsi BP Migas untuk sementara digantikan oleh Satuan Kerja Sementara Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SK Migas), maka demi memberi kepastian hukum, namanya kemudian ditetapkan menjadi Satuan Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas). Lembaga ini diharapkan menjadi institusi permanen ketika UU Migas yang baru direvisi oleh pemerintah bersama DPRpada akhir tahun 2015 ini.
Migas di Indonesia : Prospek Investasi Berisiko Tinggi
Dengan cadangan minyak terbukti saat ini yang hanya mencapai 4 miliar barel, minyak bumi Indonesia diperkirakan akan habis dalam waktu 10 tahun dengan asumsi produksi rata-rata 800.000 barel per hari. Cadangan ini menempatkan Indonesia pada urutan ke-28 negara-negara penghasil minyak. Angka ini terpaut sangat jauh di bawah Venezuela dengan cadangan 298,3 miliar barel dan Arab Saudi dengan cadangan 265,9 miliar barel.
Meskipun demikian, peluang menikmati legitnya emas hitam di Indonesia sebenarnya bisa dibilang masih cukup menjanjikan. Di tengah menurunnya cadangan terbukti minyak, potensi sumber daya migas nusantara sebenarnya masih berlimpah. Indonesia disinyalir masih memiliki potensi cadangan baru mencapai 43,7 miliar barel. Namun angka ini harus dibuktikan dengan eksplorasi dan penemuan sumur-sumur minyak baru.
Kegiatan eksplorasi memang sangat bergantung pada iklim investasi. Terlepas dari potensi keuntungan yang mungkin didapatkan, risiko berinvestasi dalam kegiatan eksplorasisangat besar. Dalam kurun waktu 2010- 2011 saja, investor hulu migas di Indonesia terpaksa menanggung kerugian senilai US$ 1,24 miliar atau Rp 11,16 triliun lantaran kegiatan pengeboran sumur minyak tak menghasilkan apa-apa alias dry hole.
BP Migas mencatat, sepanjang tahun 2010 terdapat dry hole di 30 sumur dengan kehilangan investasi mencapai US$ 776 juta. Sedangkan di tahun 2011, jumlah sumur dry hole mencapai 12 sumur dengan total kehilangan investasi mencapai US$ 461 juta. Salah satu contohnya adalah Murphy Oil yang kehilangan US$ 215 juta atau sekitar Rp 2 triliun dalam waktu 6 bulan karena sumur hasil eksplorasi di Blok Semai 2 Papua ternyata kering.
Apalagi ditambah dengan turunnya harga minyak mentah dunia sejak akhir 2014 lalu, investor harus berpikir dua kali sebelum membelanjakan uangnya. Dalam wawancara kepada media pada 9 Maret 2015, Direktur Pembinaan Hulu Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Naryanto Wagimin, mengungkapkanbahwa tiga kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) sudah menyatakan niatnya untuk hengkang dari Indonesia.
Ketiga kontraktor tersebut adalah Marathon Oil Corporation dan Murphy Semai Oil Co. Ltd. asal Amerika Serikat, serta Talisman Energy Inc. asal Kanada. Sama seperti Murphy, Marathon Oil gagal mendapatkan cadangan minyak dan gas bumi di Blok Pasang Kayu, Sulawesi Selatan. Bagi keduanya, kegagalan dalam menemukan cadangan minyak cukup memukul kondisi keuangan perusahaan. Sedangkan Talisman Energy Inc. beralasan hengkang karena sahamnya dijual ke perusahaan asal Spanyol, Repsol SA.
Dalam industri migas, potensi keuntungan yang begitu besar memang sebanding denganrisiko yang dihadapi. Indonesia memiliki minyak sebesar 87,2 miliar barel dan gas sebesar 594,4 triliun standar cubic feet (TSCF) yang tersebar di 60 cekungan sedimen. Sebanyak 38 cekungan sudah dieksplorasi dan 22 sisanya masih menunggu untuk dijamah. Kebanyakan di antaranya berada di laut dalam kawasan timur Indonesia. Hasil eksplorasi selama 10 tahun juga menemukan sumur dengan cadangan migas lebih banyak daripada sumur kering.
Berdasarkan data SKK Migas, dalam periode 2010 – 2012 telah dilakukan pengeboran sumur eksplorasi sebanyak 165 sumur. Sebanyak 71 sumur dari 165 sumur yang telah dibor tersebut berhasil menemukan hidrokarbon. Rasio keberhasilan pengeboran sumur eksplorasidi Indonesia periode 2010–2012 rata-rata 43%. Jumlah ini cukup tinggi dibanding rata-rata dunia yang hanya berkisar 20-30%.
Bahkan data BP Migas tahun 2009 menunjukkan bahwa rasio pemboran eksplorasi dengan taruhan (wild cat) mencapai 46%. Artinya, kemampuan operator-operator perminyakan di Indonesia sudah teruji dan pihak KKKS sudah semakin mengenal daerah eksplorasi di Asia Pasifik, terutama Indonesia. Sepanjang tahun 2009 telah dilakukan pemboran sumur eksplorasi sebanyak 73 sumur. Hingga November 2009, terdapat 50 sumur yang sudah selesai diperiksa dengan penemuan sebanyak 33 buah
Tingginya sukses rasio tersebut membuktikan bahwa prospek investasi industri hulu migas di Indonesia masih cukup cerah. Potensi Indonesia yang demikian besar sudah tergambar. Anehnya, tidak banyak perusahaan yang bersedia terjun untuk mengeksplorasi. Agaknya ada faktor lain yang membuat para investor takut berinvestasi di Indonesia.Kepastian hukum mungkin bisa menjadi salah satu penyebabnya.
Seperti yang dijabarkan sebelumnya, Pemerintah RI pernah memaksa perusahaan migas asing untuk mengubah kontrak konsesi menjadi kontrak karya. Kemudian, pemerintah juga pernah menghentikan proyek di tengah jalan seperti yang terjadi pada kasus Karaha Bodas Company (KBC), di mana pemerintah mengeluarkan Keppres No.39 Tahun 1997 yang isinya menunda proyek yang sudah ditandatangani pada 28 November 1994 antara Pertamina dengan KBC untuk pengembangan lapangan panas bumi dan penjualan energi.
Di tahun 2008, perseteruan antara Pemerintah dengan Exxon Mobil mengenai kontrak Blok D-Alpha Natuna juga sempat menjadi sorotan dunia. Karena negosiasi dengan ExxonMobil tidak mencapai titik temu, sidang kabinet yang dipimpin Presiden SBY lantas memutuskan pengelolaan Blok Natuna D Alpha diserahkan kepada Pertamina. Meskipun akhirnya Pertamina kembali menggandeng Exxon karena blok tersebut cukup luas dan pengelolaannya membutuhkan teknologi yang tak sederhana.
Yang masih segar dalam ingatan tentu kasus bubarnya BP Migas sehingga membuat pengelolaan industri hulu migas menjadi bola liar. Investor sempat dibuat cemas dengan besaran dana yang sudah dikeluarkan untuk menimba minyak dari Indonesia. Kekuatan hukum lembaga penggantinya, SKK Migas, pun masih belum jelas karena menunggu proses revisi UU Migas yang saat ini masih berjalan. Kita semua tentu berharap Undang-undang ini dapat memberikan payung hukum yang lebih terarah bagi kebijakan migas di tanah air.
Berharap pada Pemain Lokal
Dalam sepuluh tahun terakhir, pemain besar yang berbagi kue migas di Indonesia tak banyak berubah melainkan hanya bertukar posisi. Mereka adalah Chevron, Pertamina, ConocoPhilips, Total E&P, CNOOC, PetroChina, Vico, Medco, BP, dan ExxonMobil. Perubahan yang cukup menggembirakan adalah semakin dominannya pemain lokal yang meramaikan kompetisi. Sebagai gambaran, sebelum 2001, dari total 117 wilayah kerja, pemain domestik hanya 16 persahaan atau 13,6 persen. Namun setelah 2001, dominasi pemain asing terus terkikis pemain lokal.
Saat ini, dari total 308 wilayah kerja migas di Indonesia, sebanyak 137 atau 44,4 persen di antaranya dikelola perusahaan nasional. Beberapa pemain lokal bergerak di bisnis eksplorasi dan eksploitasi seperti Star Energy, Ephindo, Interra Resources, Samudra Energy, Sound Oil, Energi Mineral Langgeng, Pacific Oil & Gas, Syabas Energy, dan banyak nama lainnya. Beberapa di antaranya juga menjadi operator blok migas, sementara lainnya menjadi pemilik hak partisipasi di blok-blok migas, baik di wilayah kerja dengan sistem PSC maupun ladang migas milik Pertamina.
Apalagi kebijakan pemerintah mengenai pengelolaan blok migas cukup mengakomodasi semangat nasionalisasi. Misalnya blok migas yang sudah berakhir masa kontraknya dengan asing sebisa mungkin diserahkan kepada pihak nasional, khususnya Pertamina sebagai representasi perusahaan migas negara. Namun pengelolaaanya tetap melibatkan BUMD sebagai representasi daerah. Juga aturan bahwa Pemda mendapat participating interest (PI) migas sebesar 10 persen. Participating interest adalah proporsi kepemilikan produksi dan eksplorasi atas suatu wilayah kerja migas.
Pada akhirnya, kegiatan eksplorasi sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan minyak dan gas bumi dalam negeri yang semakin meningkat. Terutama mengingat sebagian kebutuhan tersebut ditambal lewat jalur impor. Di samping upaya untuk menemukan sumber energi terbarukan, perlu diberikan insentif untuk membuat investor tertarik mencari sumur-sumur baru di daerah Indonesia bagian timur. Beberapa terobosan perlu segera dilakukan.
Salah satunya adalah wacana penyediaan petroleum fund seperti yang telah dilakukan sejumlah negara. Dengan cara ini, negara menghimpun dana dari bagian perolehan migas yang dialokasikan untuk melakukan eksplorasi dan kegiatan seismik lainnya. Kolumbia sudah memulai dengan menyediakan dana sejumlah US$150 juta melalui penerimaan di sektor hulu migas. Hasilnya, produksi minyak tiap tahun meningkat hingga 20%. Wacana ini kabarnya akan dibahas juga dalam amandemen UU Migas.
Jaminan kepastian hukum mengenai kelancaran operasional migas juga sangat perlu dibenahi. Setelah era otonomi daerah, aturan yang seringkali tumpang tindih antara pusat dan daerah menjadi kendala yang lazim ditemui. Misalnya menyangkut masalah pembebasan lahan, perizinan daerah, hingga faktor kondisi sosial masyarakat. Dengan membuat aturan yang baku dan sinergis dari pusat hingga ke daerah, kegamangan investor untuk membuka dan menimba sumur-sumur migas diharapkan dapat berkurang.
Di tengah anjloknya harga minyak dunia, sejatinya iklim investasi migas di Indonesia masih cerah. Apabila investor asing memang kurang berani membelanjakan uangnya di Indonesia, agaknya macan-macan lokal masih kuat untuk bersaing. Yang dibutuhkan hanyalah dukungan dari pemerintah sebagai pemberi hak kelola blok migas. Sehingga saat banyak perusahaan migas multinasional yang ambruk akibat harga minyak mentah yang terjun bebas, perusahaan migas nasional punya kesempatan yang lebih besar untuk merajai pasar di negeri sendiri.