-->

Friday, 31 July 2015

Malu Masuk Syurga

Malu Masuk Syurga
Dunia hanya panggung sandiwara, kata banyak orang. Ia permainan belaka, betapapun indahnya kenikmatan alam yang pasti bakal rusak ini. Dunia sekadar jembatan bagi kebahagiaan abadi di akhirat nanti. Bergiatlah ibadah dan berbuat baik, kelak kau mendapat surga. Dan teruslah durhaka dan berlaku jahat jika kau menghendaki neraka.

Berangkat dari pandangan biner ini, sebagian orang lantas membuat kesimpulan: tujuan akhir hidup di dunia ini adalah meraih kebahagiaan surgawi. Sedahsyat apapun sensasi kelezatan makanan di dunia, ia akan berhenti di lorong tenggorokan saja. Secantik dan setampan apapun wajah dan tubuh manusia, ia pasti fana dimakan usia. Sementara di surga, kondisi jauh lebih nikmat dan indah akan diperoleh selama-lamanya. Sebuah kebahagiaan yang belum pernah dilihat oleh mata, juga didengar oleh telinga (mâ lâ ‘ainun ra’at wa lâ udzunun sami‘at).

Tapi benarkah tujuan hakiki hidup adalah mendapatkan surga—dan karenanya otomatis menghindari neraka?

Suatu kali Fudlail ibn ‘Iyadl berkata, “Seandainya saya diminta memilih antara dua hal, yakni dibangkitkan lalu dimasukkan surga atau tidak dibangkitkan sama sekali, saya memilih yang kedua.” Fudlail malu. Tokoh sufi ternama ini merasa tak pantas menerima ganjaran pahala seandainya ia memang mendapatkannya.

Fudlail ibn ‘Iyâdl bukan sedang ingkar terhadap surga dan kebahagiaan di dalamnya. Gejolak jiwanya lah yang mendorongnya bersikap semacam itu. ‘Abdul-Malik ‘Alî al-Kalib mencatat pernyataan ulama yang juga kerap disapa Abu Ali tersebut dalam kitab Raudlatuz Zâhidîn ketika membahasan Cinta dan Malu kepada Allah.

Kecintaan Fudlail yang memuncak kepada Tuhannya menghilangkan angan-angan akan pamrih apapun. Kebaikan yang ia lakukan tak ada bandingnya dengan anugerah-Nya yang melimpah. Bahkan kesanggupannya berbuat baik sesungguhnya adalah secuil dari anugerah itu sendiri.

Suatu hari seorang laki-laki datang dan bertanya kepada Fudlail ibn ‘Iyâdl, “Wahai Abu Ali, kapan seseorang mencapai tingkat tertinggi cinta kepada Allah ta’ala?”

“Ketika bagimu sama saja: Allah memberi ataupun tidak. Saat itulah kau di puncak rasa cinta,” jawab Fudlail.

Sebagaimana manusia, surga dan neraka adalah makluk. Fudlail berpandangan, Allah adalah hakikat tujuan hidup. Hal ini tercermin dalam tafsirnya terhadap kalimat “Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji‘ûn”. Kita semua hamba Allah, dan kepada-Nya pula kita kembali. Kehambaan yang total membuahkan kesadaran bahwa diri ini tergadai hanya untuk memenuhi permintaan Sang Tuan. Tulus murni tanpa berharap imbalan sedikit pun. (Mahbib)

Sumber : nu.or.id

Previous
Next Post »