kotabontang.net - Presiden Joko Widodo dinilai perlu mengganti menteri-menterinya yang membawahkan bidang perkonomian dan bidang hukum. Pengamat politik Yudi Latief menilai reshuffle atau perombakan kabinet merupakan salah satu jalan keluar bagi Jokowi jika ingin selamat hingga masa pemerintahannya berakhir lima tahun mendatang.
"Kalau dia masih perlu bertahan, reshuffle salah satu jalan ke luar. Kalau dia sudah tidak mampu menanggung jawaban rakyat, akan terlalu lama rakyat menunggu hingga lima tahun," kata Yudi di kantor Founding Fathers House Jakarta, Senin (16/3/2015).
Menurut dia, perombakan kabinet diperlukan sebagai langkah perbaikan agar rakyat tidak kecewa dan frustrasi akan pemerintahan Jokowi. Terkait perekonomian, Yudi menilai, menteri-menteri bidang ekonomi Jokowi bertolak belakang dengan gagasan Trisakti yang diusung ketika kampanye pada pemilihan presiden lalu.
"Ya, seperti tim ekonominya tidak sepadan dengan gagasan Trisakti, Nawacita, utang luar negeri malah melambung, harga minyak, elipiji, dia lebih menyerahkan gagasan Trisakti kepada mekanisme pasar," ujar Yudi.
Ia juga menyoroti kinerja Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno yang dinilainya tidak mengerti arti BUMN yang sesungguhnya. Rini, sebut dia, cenderung memprivatisasi BUMN melalui wacana yang dicetuskannya selama ini.
"Tentu saja BUMN tidak boleh jatuh kepada kekuatan orang per orang. Tapi sekarang, supaya BUMN lebih kuat katanya, cenderung ada privatisasi, komisaris asing, di BUMN filosofinya tidak dipahami," kata dia.
Terkait dengan kinerja pemerintah di bidang hukum, menurut Yudi, masyarakat mulai tidak percaya pada pemerintah dalam menyelesaikan masalah hukum. Kebijakan-kebijakan yang diambil Jokowi dan pembantunya di bidang hukum dinilai Yudi sebagai suatu kebijakan prematur. Ia mencontohkan, keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly yang mengesahkan kepengurusan salah satu kubu Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan.
Menurut Yudi, keputusan Menkumham ini berpotensi memecah belah partai. Jika demikian, Jokowi sebagai kepala negara dianggapnya tidak mampu membangun tatanan partai politik yang sehat.
"Semestinya Jokowi tentu punya kepentingan politik sebagai kepala negara membangun tatanan parpol yang sehat. Karut-marut parpol menandakan dia sebagai kepala negara berarti tidak berhasil. Kalau sekarang parpol pecah, dia tandanya berhasil kembangkan politik kepartaian. Hati-hati dengan kepentingan jangka pendek dan kehendak bangun kepercayaan jangka panjang," kata dia.
-KOMPAS.com-